Updates from Januari, 2018 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • Ibnu Rusman 01:25 on 20 January 2018 Permalink | Balas
    Tags:   

    PELAJARILAH ADAB TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMPELAJARI SUATU ILMU

    _*Imam Malik rahimahullah berkata*_

    “Aku berkata kepada ibuku, *‘Aku akan pergi untuk belajar.’*

    Ibuku berkata,‘Kemarilah!, _*Pakailah pakaian ilmu!*_

    Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.”

    (‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah)

    Dari Abu ‘Abdillah alias Wahab bin Munabbih rahimahullah, beliau berkata:
    “Akan lahir dari ilmu: kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh, kekayaan

    walaupun orangnya fakir dan kewibawaan walaupun orangnya tawadhu.”
    (lihat; Tadzkiratus-Sami’ Wal-Mutakallim

    Fil-Adaabil-Aalim wal-Muta’allim, Ibnul-Jamaah al-Kinani)

     
  • Ibnu Rusman 00:10 on 20 January 2018 Permalink | Balas
    Tags: , ,   

    AKHLAK ORANG YANG BERILMU

    Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata:

    “Dan perkara yang harus ada pada orang yang berilmu adalah

    • menghiasi dirinya dengan kandungan ilmu yang ia pelajari dari akhlaq yang mulia,
    • mengamalkan ilmunya dan
    • menyebarkannya kepada manusia.

    Orang yang berilmu adalah orang yang paling berhaq untuk menghiasi dirinya dengan
    akhlaq yang mulia dan menjauhi dari akhlaq yang tidak baik, dia juga merupakan orang yang paling berhaq untuk mengamalkan kewajiban baik yang dhohir maupun yang batin dan menjauhi perkara yang haram,

    hal ini disebabkan karena

    mereka memiliki ilmu dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, mereka adalah Qudwah (suri tauladan) bagi manusia dan manusia akan mengikuti mereka, dan juga dikarenakan mereka akan mendapatkan celaan lebih banyak ketika mereka tidak mengamalkan ilmunya dari pada orang yang tidak berilmu.

    Dan sesungguhnya ulama-ulama salaf senantiasa menjadikan amal sebagai alat untuk menghafal ilmu, karena ilmu jika diamalkan maka akan kokoh dan dihafal,

    demikian juga akan semakin bertambah dan banyak barokahnya.

    Akan tetapi jika ilmu tidak diamalkan maka ia akan pergi dan barokahnya akan hilang. Maka ruh kehidupan ilmu adalah pengamalannya baik dengan akhlaq, mengajarkan, ataupun berda’wah”.

    (Lihat ‘Awa’iqut Tholab: 90 karya Syaikh Abdus Salam Bin Barjas)

     
  • Ibnu Rusman 12:54 on 13 January 2018 Permalink | Balas
    Tags: Shahih Adabul Mufrod   

    KAJIAN KITAB : SHAHIH ADABUL MUFROD IMAM AL-BUKHARI

    (1)بَابُ قَوْلِهِ تَعَالَى‏:‏ ‏{‏وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا‏}

    1. KAMI PERINTAHKAN MANUSIA AGAR BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUANYA

    أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرٍ أَحْمَدُ بْن مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ حَامِدِ بْنِ هَارُونَ بْنِ عَبْدِ الجْبَّارِ البُخَارِيُّ المَعْرُوفُ بِابْنِ النَّيَازِكِيِّ قِرَاءَةً عَلَيْهِ فَأَقْرَّ بِهِ قَدِمَ عَلَيْنَا حَاجًا فِي صَفَرَ سَنَةَ سَبْعِينَ وَثَلاثِمِئَةٍ، قَالَ‏:‏ أَخْبَرَناَ أَبُو الْخَيْرِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمِّدِ بْنِ الجَلِيلِ بْنِ خَالِدِ بْنِ حُرَيْثٍ البُخَارِيُّ الْكِرْمَانِيُّ الْعَبْقَسِيُّ البَزَّارُ سَنَة اثْنَتَيْنِ وَعِشْرِينَ وَثَلاَثِمِئَةٍ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ المُغَيرَةِ بْنِ الأَحْنَفِ الْجُعْفِيُّ البُخَاِرُّي قال‏:‏ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ‏:‏ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ أَخْبَرَنِي قَالَ‏:‏ سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ‏:‏ حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ، وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللهِ قَالَ‏:‏ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم‏:‏ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ‏؟‏ قَالَ‏:‏ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ‏:‏ ثُمَّ أَيٌّ‏؟‏ قَالَ‏:‏ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قُلْتُ‏:‏ ثُمَّ أَيٌّ‏؟‏ قَالَ‏:‏ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ‏:‏ حَدَّثَنِي بِهِنَّ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي‏.‏

    Dari Abu ‘Amr asy-Syaibani, dia berkata: Pemilik rumah ini – beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas’ud) – menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Kemudian berjihad di jalan Allah.” Beliau -Ibnu Mas’ud- berkata, “Beliau telah menuturkan kepadaku itu semua. Seandainya aku meminta tambahan lagi niscaya beliau juga akan menambahkannya kepadaku.”

    (Al Adab Al Mufrad 1)

    حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ‏:‏ رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ‏.‏

    Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua”

    (Al Adab Al Mufrad 2)

     
  • Ibnu Rusman 10:04 on 13 January 2018 Permalink | Balas  

    🌈🕌 *POKOK DAN INTI TAUHID*

    ✍️ _Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’dy berkata:_

    “Pokok tauhid dan intisarinya ialah ikhlas dan cinta kepada Allah semata.

    Dan itu merupakan pokok dalam peng- ilah-an dan penyembahan bahkan merupakan hakikat ibadah yang tidak akan sempurna tauhid seseorang kecuali dengan menyempurnakan kecintaan kepada Rabb-nya dan menyerahkan seluruh unsur-unsur kecintaan kepada-Nya sehingga ia berhukum hanya kepada Allah dengan menjadikan kecintaan kepada hamba mengikuti kecintaan kepada Allah yang dengannya seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman”.

    📚 _Al-Qaulus Sadid, hal 110_

    •┈┈•✹❒❀❒✹•┈┈•

    https://t.me/mutiarahidayah

     
  • Ibnu Rusman 09:23 on 13 January 2018 Permalink | Balas  

    🌈🕌 *HUKUM MENJAMA’ SHALAT KARENA PEKERJAAN*

    *Menjama’ shalat* adalah menggabungkan dua shalat (Zhuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan ‘Isya’) dan dikerjakan pada salah satu waktu shalat tersebut. Seseorang boleh melakukan *JAMA’ TAQDIM* dan *JAMA’ TA’KHIR*.

    *JAMA’ TAQDIM* adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat pertama, yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu shalat Zhuhur; Shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dikerjakan pada waktu shalat Maghrib. *Jama’ taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik*.

    *JAMA’ TA’KHIR* adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu shalat kedua, yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan pada waktu Ashar; Shalat Maghrib dan shalat ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu shalat Isya’. Jama’ ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi *yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam*. _(Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz, hlm. 93-94)_

    *Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya – baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur. Artinya boleh dilakukan ketika diperlukan saja*. _(Fiqhus Sunnah, 1/316-317)_

    _*Imam Nawawi rahimahullah*_ mengatakan: “Sebagian imam (Ulama) berpendapat bahwa seorang yang muqim (tidak sedang bepergian) *boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asal tidak dijadikan kebiasaan.*” _(Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219)_

    Ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

    _*“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.”*_ (HR. Muslim).

    Dengan demikian, kita tahu bahwa pensyari’atan jama’ dalam shalat bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada umat ini dalam masalah-masalah yang menyusahkan mereka.

    _*Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah*_ menjelaskan bahwa para pekerja industri dan petani apabila pada waktu tertentu mengalami kesulitan (masyaqqah), seperti lokasi air yang jauh dari tempat pelaksanaan shalat, sehingga jika mereka pergi ke lokasi air dan bersuci bisa mengakibatkan hilangnya pekerjaan yang dibutuhkan. *Jika demikian kondisinya, maka mereka boleh shalat di WAKTU MUSYTARAK* _(Maksudnya waktu yang diperbolehkan dua shalat dilaksanakan padanya)_ lalu menjama’ (menggabungkan) dua shalat. _(Majmu’ al-Fatawa, 21/458)_

    *Berdasarkan ini, maka dibolehkan menjama’ shalat bila diperlukan dan tidak dijadikan sebagai rutinitas sehari-hari.*

    Wallahu a’lam.
    📚 _(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV)_

     
  • Ibnu Rusman 09:22 on 13 January 2018 Permalink | Balas  

    *MOHONLAH PADA ALLAH KESELAMATAN*

    ✍️ Suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu anhu berdiri di atas mimbar, Beliau menangis tersedu sedu sampai ke tenggorokannya tiga kali kemudian berkata:

    🔹 “Wahai sekalian manusia (kaum muslimin) mintalah kalian pada Allah Ta’ala keselamatan.

    ▪️ Sesungguhnya seseorang tidaklah diberikan (kebaikan/ni’mat) seperti keyakinan setelah keselamatan.

    ▪️ Dan tidak ada keadaan yang lebih berat dari pada keraguan setelah kekufuran (ni’mat).

    ▪️ *Hendaklah kalian berhias dengan akhlak jujur*

    ▪️ Karena sesungguhnya kejujuran itu membawa pada kebaikan dan keduanya (jujur dan baik) itu tempat nya di surga.

    ▪️ *Dan jauhilah perangai dusta*

    ▪️ Karena kedustaan itu menyeret pada dosa dan keduanya (dusta dan dosa) tempatnya di neraka.”

    📚 _Az-Zuhud karya al-Imam Ahmad hal 135_

     
  • Ibnu Rusman 09:22 on 13 January 2018 Permalink | Balas  

    🌈🕌 *WANITA YANG BOLEH SAFAR TANPA MAHRAM*

    ✍️ Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata :

    “Setiap safar walaupun pendek (dekat), seorang wanita harus bersama mahram pada safar tersebut, kecuali pada 4 kondisi :

    1️⃣ Apabila mahramnya meninggal di perjalanan, dalam keadaan ia jauh dari negerinya.
    2️⃣ Apabila ia wajib Hijrah
    3️⃣ Apabila ia telah berzina hendak diasingkan namun ia tidak memiliki mahram.
    4️⃣ Apabila Hakim mengharuskan kedatangannya setelah penetapan tuduhan (dakwa) terhadapnya, sedangkan ia tidak di negerinya.”

    📚 _Al Muntaqa min Faraid al fawaid, hal. 44_

     
  • Ibnu Rusman 21:37 on 11 January 2018 Permalink | Balas  

    CIRI ORANG YANG DIKEHENDAKI KEBAIKAN OLEH ALLAH

    Imam al Ajurri rahimahullah berkata,
    “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu’anhum dan orang-orang
    yang mengikuti mereka dengan baik.

    Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir diantara mereka; semisal alAuza’i, Sufyan atsTsauri, Malik bin Anas, asySyafi’i, Ahmad bin Hanbal, alQasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.”

    (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 49)

     
  • Ibnu Rusman 21:35 on 11 January 2018 Permalink | Balas  

    ORANG YANG BERILMU ADALAH ORANG YANG MENGIKUTI SUNNAH

    Imam alBarbahari rahimahullah berkata,

    “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu sesungguhnya ilmu bukan lah dengan memperbanyak riwayat dan kitab.

    Sesungguhnya orang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah,
    meskipun ilmu/wawasan dan bukunya banyak.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)

     
  • Ibnu Rusman 21:32 on 11 January 2018 Permalink | Balas  

    BERLOMBA-LOMBALAH DALAM KEBAIKAN DAN TINGGALKAN YANG TIDAK BERMANFAAT

    Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

    “Wahai anak Adam, jika engkau melihat manusia berada dalam kebaikan maka berlombalah dengan mereka. Dan apabila engkau melihat mereka dalam kebinasaan, tinggalkan mereka beserta apa yang telah mereka pilih bagi diri-diri mereka sendiri. Sungguh, telah kita saksikan kaum demi kaum yang lebih mengutamakan dunia daripada kehidupan akhiratnya. Akhirnya mereka menjadi hina, binasa, dan tercela.”
    (Mawa’izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 46)

    Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, berkata:
    “Wajib bagi yang berinteraksi dengan orang lain, maka hendaklah ia melakukan yang maslahat (bagi orang lain). Adapun yang berinteraksi untuk dirinya sendiri, maka ia boleh saja melakukan sekehendaknya selama dibolehkan.”
    (Syarhul Mumthi’, 4: 193)

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal