Updates from April, 2018 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • Ibnu Rusman 23:56 on 16 April 2018 Permalink | Balas
    Tags: Keutamaan Doa   

    MEMOHON KEPADA ALLAH PETUNJUK

    Allah عزّوجلّّ berfirman,

    مَن يّػهَْدِّ اّ ا للُّ فَّػهُوَّ اّلْمُهْتَدِّ وَّمَن يُّضْلِلّْ فَّػلَن تََِّدَّ لَّوُّ وَّلِيّاًّ مرْشِداًّ

    “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yangdisesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin-pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. al-Kahfi/18:17).

    Dan petunjuk itu ada dua macam: Petunjuk yang bersifat global yaitu petunjuk kepada iman dan islam dan hal ini terjadi untuk setiap Mukmin, dan yang kedua petunjuk yang sifatnya terperinci yaitu petunjuk untuk mengetahui perincian-perincian bagian iman dan Islam, dan membantunya untuk mengerjakan hal itu. Dan hal ini dibutuhkan oleh setiap Mukrnin malam dan siang hari, maka Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu membaca pada setiap raka’at shalat mereka firman Allah, اىدِنػَػا اّلصِّرَاطَّ سّتَقِيمَّ الم “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah/1:6).

    Dan begitu juga Nabi صلى الله عليه وسلم membaca dalam do’anya sebagai pembukaan pada shalat malam:

    اىْدِنِّ لِّمَا اّخْتُلِفَّ فِّيوِّ مِّنّْ اّلَْْقِّّ بِِِّذْنِكَّ إِّناكَّ تَّػهْدِي مَّنّْ تَّشَاءُّ إِّلَّّ صِرَاطٍّ مُّسْتَقِيمٍّ

    “Tunjukilah aku kepada kebenaran-kebenaran dengan izin Engkau, sesungguhnya Engkau menunjukkan siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim).

    Dan juga Nabi selalu mewasiatkan kepada Mu’adz Ibnu Jabal رضي الله عنه untuk berdo’a setiap selesai shalat:

    اللاهُامّ أَّعِنِّّ عَّلَى ذِّكْرِؾَّ وَّشُكْرِؾَّ وَّّحُسْنِّ عِّبَادَتِكَّ

    “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan melaksanakan ibadah yang baik kepada-Mu.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh al-Albani).

    Dan do’a istiftah (pembukaan) Nabi صلى الله عليه وسلم pada suatu saat malam:

    اىْدِنِّ لَِِّحْسَنِّ اّلَِْخْلََؽِّ لَّّ يّػهَْدِي لَِِّحْسَنِهَا إِّالّ أَّنْتَّ وَّاصْرِؼّْ عَّنِّّّ سَيِّئَػهَا لَّّ يَّصْرِؼُّ عَّنِّّ سَّيِّئَػهَا إِّالّ أَّنْتَّ

    “Tunjukilah aku untuk berakhlak yang baik tidaklah ada yang mampu memberikan petunjuk untuk perbaikan akhlak kecuali Engkau dan jauhkanlah dariku kejelekannya tidaklah ada yang menjauhkan dariku kejelekannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim).

    Dan sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan Ali Ibnu Abu Thalib رضي الله عنه untuk meminta kepada Allah petunjuk dan kebenaran:

    اللاهُامّ إِّنِّّ أَّسْأَلُكَّ اّلْْدَُى وَّال ا سدَادَّ

    “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan kebenaran.” (HR. Muslim).

    Dan juga mengajarkan al-Hasan Ibnu Ali رضي اّلله عّنهما untuk membaca pada setiap qunut witir:

    اللاهُامّ اّىْدِنِّ فِّيمَنّْ ىَّدَيْتَّ

    “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk.” (HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh al-Albani).

     
  • Ibnu Rusman 00:36 on 14 April 2018 Permalink | Balas  

    LUASNYA RAHMAT DAN AMPUNAN ALLAH AZZA WA JALLA 

    Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman: (yang artinya)

    “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kedzaliman itu) di antara kamu, maka janganlah kamu saling mendzalimi.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua tersesat selain orang yang Aku berikan hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah kepadamu.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya kelaparan selain orang yang Aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kamu makanan.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya tidak berpakaian selain orang yang Aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan kamu pakaian.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya melakukan kesalahan di malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya Aku akan ampuni.

    Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya tidak ada bahaya yang dapat kamu lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak adanya manfaat yang dapat kamu berikan kepada-Ku.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya, semuanya berhati jahat seperti jahatnya salah seorang di antara kamu, niscaya hal itu tidak akan mengurangi kerajaan-Kusedikitpun juga.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu meminta kepada-Ku, kemudian setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku selain bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan ke dalam lautan.

    Wahai hamba-hambaKu! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian; kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian.

    Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla , dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”

     

    _Hadits shahih diriwayatkan dari banyak jalan diantaranya : Muslim no. 2577, Ahmad V/154, 160, 177, At-Tirmidzi no. 2495, Ibnu Majah no.4257,  Al-Bukhari no. 490, Shahîh al-Adabul Mufrad no. 377,  al-Mushannaf Abdurrazzak no. 20272, Hilyatul Auliya’ V/125-126,  Sunan Al-Baihaqi  VI/93,  al-Asma’ wash Shifat hal. 65, 159, 213-214, 227, 285, al-Mustadrak IV/241, Ibnu Hibban no. 618-at-Ta’liqatul Hisan dan Arbain Imam Nawawi hadits ke24_

    Maka sebagai hamba Allah yang taat segeralah untuk memohon ampun sebanyak-banyaknya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat al Hadid : 21 yang artiya “Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

    Bersegera merupakan langkah yang baik dalam bertaubat, karena kita tidak ingin menghadap Allah dengan membawa dosa yang bertumpuk dan Allah murka kepada kita.  “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi mereka yang mengerjakan keburukan karena kejahilan (kebodohan), kemudian mereka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 17)

    Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, seperti dapat mengerjakan ketaatan, maka hendaknya memuji Allah, karena Dia-lah yang membantunya. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka yang berhak dicela adalah dirinya, karena dirinya sendiri yang menganiayanya dengan menuruti hawa nafsunya dan tidak mau tunduk kepada hukum Allah, padahal Allah telah menerangkan hujjah, sehingga tidak ada lagi udzur/alasan.

    Wallahul Muwaffiq

     
  • Ibnu Rusman 23:11 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (Bag. 3) 

     

    *HADITS-HADITS SHAHIH SEPUTAR BULAN SYABAN*

    5️⃣ Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: _*“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.”*_ 📚 _HR. Abu Daud, no. 3237, Tirmizi, no. 738, Ibnu Majah, no. 1651, dan dinilai shahih oleh Al Albani_

    6️⃣ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

    “Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunnah, maka bolehlah ia berpuasa.” 📚 _HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082_

    🔹 Al-Munawi memberikan penjelasan

    أي يحرم عليكم ابتداء الصوم بلا سبب حتى يكون رمضان

    “Maksud hadits, terlarang bagi kalian untuk memulai *puasa tanpa sebab,* sampai masuk bulan Ramadhan” (Faidhul Qadir, 1:304)

    👉 Yang dimaksud *“puasa tanpa sebab”* adalah puasa sunnah mutlak. Karena itu, larangan dalam hadits ini tidak mencakup puasa qadha’ bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadhan. Bahkan kaum muslimin yang memiliki utang puasa, dia wajib menqadha’nya sebelum datang Ramadhan berikutnya.

    🔸 Imam Al-Qurthubi mengatakan : “Tidak ada pertentangan antara hadits yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban, serta hadits yang melarang mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan.

    Yang perlu kita pahami adalah bahwa hadits larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunnah.

    Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” 📚 _lihat Aunul Ma’bud, 6/330._

    🔹 Ulama madzhab Syafii telah mengamalkan hadits-hadits ini, lalu mereka berkata, _*tidak dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa atau ingin melanjutkan puasa sebelum pertengahan (Sya’ban).*_

    Dan ini adalah pendapat terkuat menurut kebanyakan mereka (ulama madzhab Syafi’i) bahwa larangan dalam hadits adalah untuk pengharaman. Sebagian lain berpendapat –seperti Ar-Ruyani- bahwa larangan tersebut bersifat makruh, bukan untuk mengharamkan. 📚 _Kitab Al-Majmu, 6/399-400, dan Fathul Bari, 4/129_

    👉 Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab Riyadus Shalihin, hal. 412: “Bab larangan mendahului Ramadan (dengan berpuasa) setelah pertengahan Sya’ban _*kecuali bagi orang yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban) atau bertepatan dengan kebiasaan berpuasa Senin Kamis.”*_

    🔸 Syekh Ibn Baz rahimahullah ditanya tentang hadits larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban, beliau menjawab: “Ia adalah hadits yang shahih sebagaimana dikatakan Al-Allamah Syekh Nasiruddin Al-Albany. Maksud larangannya adalah baru memulai berpuasa dari pertengahan bulan (Sya’ban). Adapun bagi yang sudah sering berpuasa atau telah terbiasa berpuasa di bulan (Sya’ban), maka dia telah sesuai dengan sunnah.” 📚 _Al-Majmu Fatawa Ibnu Baz, 15/385_

    wabillahi wataufik

     
  • Ibnu Rusman 21:54 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (Bag. 2) 

     

    Bulan Sya’ban memiliki beberapa keutamaan di antaranya bulan tersebut adalah persiapan menjelang puasa Ramadhan. Di antara amalan yang utama di bulan ini adalah melakukan puasa sunnah Sya’ban. Yang dianjurkan adalah memperbanyak puasa pada bulan tersebut dan harinya pun bebas memilih sesuai kemampuan.

    Pada pembahasan sebelumnya disebutkan mayoritas ulama menganjurkan untuk tidak puasa penuh di bulan sya’ban, dan apabila ini dilakukan maka amalan tersebut menjadi amalan Bid’ah.

    Sebagaimana telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.” _*HR. al-Bukhari dan Muslim*_

    *Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?*

    🔸 Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata *“kullu”* (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya).

    Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” 📚 _*Nailul Author, 7/148*_

    ☝️ Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

    🔹 *Lalu Kenapa jumhur ulama menganjurkan untuk tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?*

    ✍️ Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.” 📚_*Syarh Muslim, 4/161*_

    ▪️ Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. 📚_*Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233*_

    _Wallahul Muwaffiq_

    in syaa Allah bersambung

     
  • Ibnu Rusman 21:52 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (bag.1) 

     

    Nama SYA’BAN diambil dari kata SYA’BUN, yang artinya Kelompok atau Golongan.

    Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata : “Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.” (Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban)

    Didalam kitab Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur menyebutkan: “…mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan”

    Al-Munawi rahimahullah mengatakan: “Bulan rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” (at-Tauqif a’laa Muhimmatit Ta’arif, hal. 431)

     

    HADITS-HADITS SHAHIH SEPUTAR BULAN SYA’BAN

    1. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721)

    2. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

    3. “Bulan yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau lanjutkan dengan puasa Ramadhan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanadnya dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

    4. Dari Ummu Salamah (istri Nabi) radhiallahu ‘anha berkata: “Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai)

    Al-Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata: ”Karena bulan Sya’ban seperti mukadimah bulan Ramadhan, maka disyariatkan di bulan Sya’ban apa-apa yang disyariatkan dalam bulan Ramadhan, seperti berpuasa, membaca al-Quran, agar tercapai kesiapan untuk menyambut Ramadhan dan jiwa akan terlatih dengan hal itu untuk mentaati ar-Rahman ‎(di bulan Ramadhan).” 📚_*lihat Lathaa’iful Ma’aarif li Mawasim al-‘Am Minal Wazhaif ‎ hal 258*_

    »>Berkata Syaikh Muhammad Bazmul -hafizhahullah-: “Ini yang terakhir dari Ibnu Rajab -rahimahullah-, TIDAK (BERLAKU) SECARA MUTLAK. *Akan tetapi berlaku bagi orang yang puasa merupakan kebiasaan baginya*. Sebagaimana hadits-hadits menunjukkan akan hal itu.” (Majmu’ah al-Barakatu Maa Akaabirikum)

    ▪️Menurut jumhur ulama anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban adalah bagi orang yang terbiasa berpuasa saja, seperti halnya kebiasan berpuasa senin kamis atau puasa sunnah lainnya, sedangkan bagi yang tidak menjadi kebiasaaan berpuasa, hal ini tidak dianjurkan memperbanyak puasa seluruhnya di bulan Sya’ban, *apabila ini dilakukan maka menjadi amalan bid’ah.*

    Wa billahi at-Taufiq wa sadaad

    in syaa Allah bersambung..

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal