Pembaruan Terkini Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • Ibnu Rusman 11:10 on 1 May 2018 Permalink | Balas
    Tags:   

    Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak

    Soal

    Terdapat banyak atsar (riwayat) dari para salaf (ulama terdahulu) yang menganggap sama antara orang-orang yang bersahabat dengan ahli bid’ah atau bermajelis dengannya, ke dalam hukum ahli bid’ah itu sendiri (yaitu menganggap mereka termasuk ahli bid’ah -pent). Apakah hukum ini dimaknai sebagaimana apa adanya (yaitu mereka benar-benar termasuk ahli bid’ah), atau dimaknai sebagai peringatan (supaya orang-orang menjauhi majelis mereka), dan pencegahan darinya? Apakah perbedaan dari kedua hal itu? Apakah hukum (dalam atsar-atsar) tersebut berlaku pada semua majelis, atau perlu melihat sebab-sebab bermajelis?

    Jawab

    الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد

    [ Larangan bermajelis dengan ahli bid’ah ]
    Allah Ta’ala berfirman :

    {وقد نزل عليكم في الكتاب أن إذا سمعتم آيات الله يكفر بها ويستهزأ بها فلا تقعدوا معهم حتى يخوضوا في حديث غيره إنكم إذاً مثلهم} [النساء: 140]

    “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisaa’ : 140)

    Ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwasanya orang yang duduk dalam majelis yang di dalamnya ayat-ayat Allah diingkari, dan diperolok-olokkan; maka dia seperti mereka (yaitu orang-orang yang kafir lagi mengolok-olok ayat-ayat-Nya). Hukum ini juga diterapkan dalam majelis ahli bid’ah ketika mereka berbicara tentang kebid’ahan mereka dan berdakwah kepadanya, karena orang yang duduk-duduk dengan mereka, sementara mereka berkata-kata dengan kebatilan dan menyesatkan manusia, maka dia (dihukumi) seperti mereka. Hal ini disebabkan duduknya dia bersama mereka, tanpa melakukan pengingkaran, menunjukkan kerelaannya terhadap ahli bid’ah tersebut, dan terhadap kebatilan mereka.

    [ Hukum-hukum terkait dengan bermajelis dengan ahli bid’ah ]
    Maka barangsiapa yang tidak mampu mencegah kemungkaran itu, wajib baginya tidak menghadiri majelis tersebut, bahkan berdiri dari majelis yang bermaksiat kepada Allah (jika sebelumnya dia duduk di dalam majelis -pent). Sedangkan apabila tidak membicarakan kebatilan, baik berupa kekafiran, bid’ah, maupun maksiat; maka duduk-duduk dalam keadaan seperti ini berbeda-beda hukumnya sesuai dengan maksud, sebab, dan dampak yang ditimbulkan. Kadang duduk-duduk tersebut hukumnya disyariatkan, seperti apabila dimaksudkan dengannya untuk melunakkan hati dan berdakwah, tanpa adanya kekhawatiran bahaya menimpa agamanya. Kadang hukumnya makruh, dan kadang juga hukumnya mubah, jika dilakukan karena adanya keperluan yang mubah. Kadang juga hukumnya bisa menjadi haram, jika menimbulkan mafsadah yang menimpa agamanya, atau menimpa agama orang lain yang mengikuti/mencontohnya.

    [ Diantara maksud hajr ]
    Hajr (boikot) orang-orang yang gemar bermaksiat dan ahli bid’ah kadang dimaksudkan untuk menjaga diri dari kejelekan mereka, dan kadang dimaksudkan untuk pengingkaran, dan peringatan kepada mereka supaya bertaubat.

    Atsar-atsar dari salaf berupa peringatan dari bermajelis dengan ahlul bid’ah, disebabkan kekhawatiran terhadap kejelekan mereka, karena mereka akan memberikan dampak buruk kepada orang yang bermajelis dengan mereka. Dan kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu dan kekuatan iman yang menjadi penjaga diri dari kejelekan ahli bid’ah dan ahli kesesatan, sebagaimana dikatakan bahwa “pencegahan lebih baik dari pengobatan”.

    Wallaahu a’lam.

     
  • Ibnu Rusman 11:09 on 1 May 2018 Permalink | Balas
    Tags: Doa   

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

    Do’a Pagi

    بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

    اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلا ً

    Allahumma inni as aluka ilman nafian, wa rizqan thayyiban, wa amalan mutaqabbalan.

    (HR. Ibnu Majah)

    Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima.

    Aamiin yaa robbal Aalamiin.

    آمين اللهم آمين يارب العالمين

     
  • Ibnu Rusman 23:56 on 16 April 2018 Permalink | Balas
    Tags: Keutamaan Doa   

    MEMOHON KEPADA ALLAH PETUNJUK

    Allah عزّوجلّّ berfirman,

    مَن يّػهَْدِّ اّ ا للُّ فَّػهُوَّ اّلْمُهْتَدِّ وَّمَن يُّضْلِلّْ فَّػلَن تََِّدَّ لَّوُّ وَّلِيّاًّ مرْشِداًّ

    “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yangdisesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin-pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. al-Kahfi/18:17).

    Dan petunjuk itu ada dua macam: Petunjuk yang bersifat global yaitu petunjuk kepada iman dan islam dan hal ini terjadi untuk setiap Mukmin, dan yang kedua petunjuk yang sifatnya terperinci yaitu petunjuk untuk mengetahui perincian-perincian bagian iman dan Islam, dan membantunya untuk mengerjakan hal itu. Dan hal ini dibutuhkan oleh setiap Mukrnin malam dan siang hari, maka Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu membaca pada setiap raka’at shalat mereka firman Allah, اىدِنػَػا اّلصِّرَاطَّ سّتَقِيمَّ الم “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. al-Fatihah/1:6).

    Dan begitu juga Nabi صلى الله عليه وسلم membaca dalam do’anya sebagai pembukaan pada shalat malam:

    اىْدِنِّ لِّمَا اّخْتُلِفَّ فِّيوِّ مِّنّْ اّلَْْقِّّ بِِِّذْنِكَّ إِّناكَّ تَّػهْدِي مَّنّْ تَّشَاءُّ إِّلَّّ صِرَاطٍّ مُّسْتَقِيمٍّ

    “Tunjukilah aku kepada kebenaran-kebenaran dengan izin Engkau, sesungguhnya Engkau menunjukkan siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” (HR. Muslim).

    Dan juga Nabi selalu mewasiatkan kepada Mu’adz Ibnu Jabal رضي الله عنه untuk berdo’a setiap selesai shalat:

    اللاهُامّ أَّعِنِّّ عَّلَى ذِّكْرِؾَّ وَّشُكْرِؾَّ وَّّحُسْنِّ عِّبَادَتِكَّ

    “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan melaksanakan ibadah yang baik kepada-Mu.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh al-Albani).

    Dan do’a istiftah (pembukaan) Nabi صلى الله عليه وسلم pada suatu saat malam:

    اىْدِنِّ لَِِّحْسَنِّ اّلَِْخْلََؽِّ لَّّ يّػهَْدِي لَِِّحْسَنِهَا إِّالّ أَّنْتَّ وَّاصْرِؼّْ عَّنِّّّ سَيِّئَػهَا لَّّ يَّصْرِؼُّ عَّنِّّ سَّيِّئَػهَا إِّالّ أَّنْتَّ

    “Tunjukilah aku untuk berakhlak yang baik tidaklah ada yang mampu memberikan petunjuk untuk perbaikan akhlak kecuali Engkau dan jauhkanlah dariku kejelekannya tidaklah ada yang menjauhkan dariku kejelekannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim).

    Dan sungguh Nabi صلى الله عليه وسلم telah memerintahkan Ali Ibnu Abu Thalib رضي الله عنه untuk meminta kepada Allah petunjuk dan kebenaran:

    اللاهُامّ إِّنِّّ أَّسْأَلُكَّ اّلْْدَُى وَّال ا سدَادَّ

    “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk dan kebenaran.” (HR. Muslim).

    Dan juga mengajarkan al-Hasan Ibnu Ali رضي اّلله عّنهما untuk membaca pada setiap qunut witir:

    اللاهُامّ اّىْدِنِّ فِّيمَنّْ ىَّدَيْتَّ

    “Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk.” (HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan oleh al-Albani).

     
  • Ibnu Rusman 00:36 on 14 April 2018 Permalink | Balas  

    LUASNYA RAHMAT DAN AMPUNAN ALLAH AZZA WA JALLA 

    Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Allah berfirman: (yang artinya)

    “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kedzaliman itu) di antara kamu, maka janganlah kamu saling mendzalimi.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semua tersesat selain orang yang Aku berikan hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah kepadamu.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya kelaparan selain orang yang Aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kamu makanan.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya tidak berpakaian selain orang yang Aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan berikan kamu pakaian.

    Wahai hamba-hamba-Ku, kamu semuanya melakukan kesalahan di malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya Aku akan ampuni.

    Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya tidak ada bahaya yang dapat kamu lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak adanya manfaat yang dapat kamu berikan kepada-Ku.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikit pun.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya, semuanya berhati jahat seperti jahatnya salah seorang di antara kamu, niscaya hal itu tidak akan mengurangi kerajaan-Kusedikitpun juga.

    Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai orang yang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu meminta kepada-Ku, kemudian setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku selain bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan ke dalam lautan.

    Wahai hamba-hambaKu! Sesungguhnya itu semua adalah amal-amal kalian yang Aku tulis untuk kalian; kemudian Aku menyempurnakannya untuk kalian.

    Barangsiapa mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Allah Azza wa Jalla , dan barangsiapa mendapatkan selain itu, maka janganlah ia sekali-kali mencela (menyalahkan) kecuali kepada dirinya sendiri.”

     

    _Hadits shahih diriwayatkan dari banyak jalan diantaranya : Muslim no. 2577, Ahmad V/154, 160, 177, At-Tirmidzi no. 2495, Ibnu Majah no.4257,  Al-Bukhari no. 490, Shahîh al-Adabul Mufrad no. 377,  al-Mushannaf Abdurrazzak no. 20272, Hilyatul Auliya’ V/125-126,  Sunan Al-Baihaqi  VI/93,  al-Asma’ wash Shifat hal. 65, 159, 213-214, 227, 285, al-Mustadrak IV/241, Ibnu Hibban no. 618-at-Ta’liqatul Hisan dan Arbain Imam Nawawi hadits ke24_

    Maka sebagai hamba Allah yang taat segeralah untuk memohon ampun sebanyak-banyaknya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat al Hadid : 21 yang artiya “Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

    Bersegera merupakan langkah yang baik dalam bertaubat, karena kita tidak ingin menghadap Allah dengan membawa dosa yang bertumpuk dan Allah murka kepada kita.  “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi mereka yang mengerjakan keburukan karena kejahilan (kebodohan), kemudian mereka segera bertaubat, maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 17)

    Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, seperti dapat mengerjakan ketaatan, maka hendaknya memuji Allah, karena Dia-lah yang membantunya. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka yang berhak dicela adalah dirinya, karena dirinya sendiri yang menganiayanya dengan menuruti hawa nafsunya dan tidak mau tunduk kepada hukum Allah, padahal Allah telah menerangkan hujjah, sehingga tidak ada lagi udzur/alasan.

    Wallahul Muwaffiq

     
  • Ibnu Rusman 23:11 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (Bag. 3) 

     

    *HADITS-HADITS SHAHIH SEPUTAR BULAN SYABAN*

    5️⃣ Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: _*“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.”*_ 📚 _HR. Abu Daud, no. 3237, Tirmizi, no. 738, Ibnu Majah, no. 1651, dan dinilai shahih oleh Al Albani_

    6️⃣ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

    “Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunnah, maka bolehlah ia berpuasa.” 📚 _HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082_

    🔹 Al-Munawi memberikan penjelasan

    أي يحرم عليكم ابتداء الصوم بلا سبب حتى يكون رمضان

    “Maksud hadits, terlarang bagi kalian untuk memulai *puasa tanpa sebab,* sampai masuk bulan Ramadhan” (Faidhul Qadir, 1:304)

    👉 Yang dimaksud *“puasa tanpa sebab”* adalah puasa sunnah mutlak. Karena itu, larangan dalam hadits ini tidak mencakup puasa qadha’ bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadhan. Bahkan kaum muslimin yang memiliki utang puasa, dia wajib menqadha’nya sebelum datang Ramadhan berikutnya.

    🔸 Imam Al-Qurthubi mengatakan : “Tidak ada pertentangan antara hadits yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban, serta hadits yang melarang mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan.

    Yang perlu kita pahami adalah bahwa hadits larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunnah.

    Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” 📚 _lihat Aunul Ma’bud, 6/330._

    🔹 Ulama madzhab Syafii telah mengamalkan hadits-hadits ini, lalu mereka berkata, _*tidak dibolehkan berpuasa setelah pertengahan bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa berpuasa atau ingin melanjutkan puasa sebelum pertengahan (Sya’ban).*_

    Dan ini adalah pendapat terkuat menurut kebanyakan mereka (ulama madzhab Syafi’i) bahwa larangan dalam hadits adalah untuk pengharaman. Sebagian lain berpendapat –seperti Ar-Ruyani- bahwa larangan tersebut bersifat makruh, bukan untuk mengharamkan. 📚 _Kitab Al-Majmu, 6/399-400, dan Fathul Bari, 4/129_

    👉 Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab Riyadus Shalihin, hal. 412: “Bab larangan mendahului Ramadan (dengan berpuasa) setelah pertengahan Sya’ban _*kecuali bagi orang yang meneruskan puasa sejak sebelum pertengahan (Sya’ban) atau bertepatan dengan kebiasaan berpuasa Senin Kamis.”*_

    🔸 Syekh Ibn Baz rahimahullah ditanya tentang hadits larangan berpuasa setelah pertengahan Sya’ban, beliau menjawab: “Ia adalah hadits yang shahih sebagaimana dikatakan Al-Allamah Syekh Nasiruddin Al-Albany. Maksud larangannya adalah baru memulai berpuasa dari pertengahan bulan (Sya’ban). Adapun bagi yang sudah sering berpuasa atau telah terbiasa berpuasa di bulan (Sya’ban), maka dia telah sesuai dengan sunnah.” 📚 _Al-Majmu Fatawa Ibnu Baz, 15/385_

    wabillahi wataufik

     
  • Ibnu Rusman 21:54 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (Bag. 2) 

     

    Bulan Sya’ban memiliki beberapa keutamaan di antaranya bulan tersebut adalah persiapan menjelang puasa Ramadhan. Di antara amalan yang utama di bulan ini adalah melakukan puasa sunnah Sya’ban. Yang dianjurkan adalah memperbanyak puasa pada bulan tersebut dan harinya pun bebas memilih sesuai kemampuan.

    Pada pembahasan sebelumnya disebutkan mayoritas ulama menganjurkan untuk tidak puasa penuh di bulan sya’ban, dan apabila ini dilakukan maka amalan tersebut menjadi amalan Bid’ah.

    Sebagaimana telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.” _*HR. al-Bukhari dan Muslim*_

    *Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?*

    🔸 Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata *“kullu”* (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya).

    Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” 📚 _*Nailul Author, 7/148*_

    ☝️ Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.

    🔹 *Lalu Kenapa jumhur ulama menganjurkan untuk tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?*

    ✍️ Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.” 📚_*Syarh Muslim, 4/161*_

    ▪️ Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. 📚_*Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233*_

    _Wallahul Muwaffiq_

    in syaa Allah bersambung

     
  • Ibnu Rusman 21:52 on 13 April 2018 Permalink | Balas  

    BULAN SYA’BAN (bag.1) 

     

    Nama SYA’BAN diambil dari kata SYA’BUN, yang artinya Kelompok atau Golongan.

    Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata : “Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar-pencar mencari air atau di dalam gua-gua setelah bulan Rajab Al-Haram. Sebab penamaan ini lebih baik dari yang disebutkan sebelumnya. Dan disebutkan sebab lainnya dari yang telah disebutkan.” (Fathul-Bari (IV/213), Bab Shaumi Sya’ban)

    Didalam kitab Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur menyebutkan: “…mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan”

    Al-Munawi rahimahullah mengatakan: “Bulan rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” (at-Tauqif a’laa Muhimmatit Ta’arif, hal. 431)

     

    HADITS-HADITS SHAHIH SEPUTAR BULAN SYA’BAN

    1. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR Al-Bukhari no. 1969 dan Muslim 1156/2721)

    2. “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)

    3. “Bulan yang paling disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan puasa adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau lanjutkan dengan puasa Ramadhan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanadnya dishahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

    4. Dari Ummu Salamah (istri Nabi) radhiallahu ‘anha berkata: “Saya tidak pernah mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR An-Nasai no. 2175 dan At-Tirmidzi no. 736. Di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasai)

    Al-Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata: ”Karena bulan Sya’ban seperti mukadimah bulan Ramadhan, maka disyariatkan di bulan Sya’ban apa-apa yang disyariatkan dalam bulan Ramadhan, seperti berpuasa, membaca al-Quran, agar tercapai kesiapan untuk menyambut Ramadhan dan jiwa akan terlatih dengan hal itu untuk mentaati ar-Rahman ‎(di bulan Ramadhan).” 📚_*lihat Lathaa’iful Ma’aarif li Mawasim al-‘Am Minal Wazhaif ‎ hal 258*_

    »>Berkata Syaikh Muhammad Bazmul -hafizhahullah-: “Ini yang terakhir dari Ibnu Rajab -rahimahullah-, TIDAK (BERLAKU) SECARA MUTLAK. *Akan tetapi berlaku bagi orang yang puasa merupakan kebiasaan baginya*. Sebagaimana hadits-hadits menunjukkan akan hal itu.” (Majmu’ah al-Barakatu Maa Akaabirikum)

    ▪️Menurut jumhur ulama anjuran memperbanyak puasa di bulan Sya’ban adalah bagi orang yang terbiasa berpuasa saja, seperti halnya kebiasan berpuasa senin kamis atau puasa sunnah lainnya, sedangkan bagi yang tidak menjadi kebiasaaan berpuasa, hal ini tidak dianjurkan memperbanyak puasa seluruhnya di bulan Sya’ban, *apabila ini dilakukan maka menjadi amalan bid’ah.*

    Wa billahi at-Taufiq wa sadaad

    in syaa Allah bersambung..

     
  • Ibnu Rusman 21:41 on 24 March 2018 Permalink | Balas
    Tags: IMAM ASY-SYAFI'I,   

    🌈🕌 *PERINTAH UNTUK MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH*

    ✍️ Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:_

    “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” 📚_*Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy Syafi’I, hal 93*_

    🔹 Beliau juga mengatakan :
    “Bila kalian menemukan sesuatu dalam kitabku yang berlainan dengan hadist Rasulullah, peganglah hadist Rasulullah dan tinggalkan pendapatku itu.” 📚_*Al Hilyah, 9/107*_

    👉 Agama ini adalah Kitab Allah, dan Kitab Allah memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

     
  • Ibnu Rusman 17:07 on 15 March 2018 Permalink | Balas  

    Hikmah di Balik Puasa Sya’ban 

    1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.

    2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban.  Jadi beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.

    3.  Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif,  hal. 234-243)

    Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.

    وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

    Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a.

    (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)

     
  • Ibnu Rusman 17:02 on 15 March 2018 Permalink | Balas  

    Sosmedmu, Surga dan Nerakamu 

    Di zaman ini, kehidupan manusia hampir tidak pernah lepas dari sosial media (sosmed). Hidup tanpa sosmed di dunia yang cangggih ini bagaikan makan sayur tanpa garam. Keakraban dengan sosmed inilah yang mendorong seseorang selalu memperbaharui status di akun yang mereka punya, untuk setiap keadaan dan peristiwa yang dialami, dibagikannya pada orang seluruh dunia melalui sosmed.

    Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa ketenaran sosmed di zaman kita ini telah di kabarkan oleh hamba Allah yang paling benar ucapannya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengabarkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, bahwasanya diantara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul qalam (tersebarnya pena/tulisan). Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pena tersebut adalah tersebarnya tulisan-tulisan di media komunikasi (sosmed) secara masif. Mari renungkan!

    Perkataan Rasul sekitar 15 abad yang lalu telah terbukti, dimana sosmed kini menjamur dan menghabitat pada sebagian besar penduduk dunia. Maka sepantasnya bagi setiap muslim yang mau berpikir dan merenungkan faidah dari hadist tersebut akan merasakan bertambahnya keimanan dalam dadanya.

    Betapa tidak, ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang sosmed dan itu terbukti di zaman ini, maka benar pula sabda Beliau mengenai adanya siksa kubur, adanya fitnah kubur, adanya pertanyaan kubur, adanya hari kebangkitan dan adanya hari pembalasan, maka semua itu akan terjadi, karena setiap ucapan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. An Najm : 1-4, yang artinya “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat tidak pula keliru, dan tidaklah yang ia ucapkan itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan padanya”.

    Oleh karena itu, sudah semestinya dengan keberadaan sosmed ini kita menjadi lebih beriman dan taat pada Allah dan RasulNya, karena setiap yang dikabarkan oleh Allah dan RasulNya adalah benar dan pasti terjadi.

    Sosmed merupakan media yang dapat membuat kita mendapat siksa kubur/nikmat kubur. Sosmed pulalah yang yang menjadi wasilah/media untuk memasukkan kita ke neraka atau ke surga, ia bagaikan pedang bermata dua. Barangsiapa tak pandai mengambil manfaatnya pastilah ia akan terbunuh karenanya. Maka dari itu, seorang muslim yang di zaman ini tidak pernah bisa lepas dengan sosmed harus mengetahui adab-adab dalam menggunakan sosmed, diantaranya :

    Pertama: Mengingat bahwa islam menuntut kita membagi waktu dengan proporsional. Tidak ada yang melarang penggunaan sosmed, namun kita harus menjaga diri agar tidak terjerumus terlalu dalam ke dalam kelalaian memanfaatkan waktu.

    Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa ada seorang sahabat, yang bernama Abu Darda’radhiyallahu ‘anhu yang selalu berpuasa di siang hari, dan selalu qiyamul lail dari ba’da isya’ hingga menjelang subuh, kabar ini sampai pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,  maka Beliau menasihatinya,

    “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Itulah nasihat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Darda’radhiyallahu ‘anhu yang kerajinan ibadah. Lalu bagaimanakah kiranya nasihat Beliau pada kita yang kerajinan berinteraksi dengan gadget kita? Jika qiyamul lail seperti Abu Darda’ saja tidak bisa melegitimasi penelantaran hak, maka apalagi dengan kesibukan berinteraksi dengan gadget?

    Dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

    Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

    Wahai saudaraku, tak mengapa kita mempunyai beberapa grup dalam suatu akun sosmed, asalkan kita pastikan ada manfaatnya. Namun jika grup-grup tersebut hanya berisi komen-komen tertawa, emoticon, dan jempol belaka, atau bahkan cenderung hal-hal haram lain, maka delete segera grup tersebut. Masih ingatkah kita akan hadits, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , dia berkata: “Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

    ‘Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya’.” (Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi).

    Salah satu tanda Allah berpaling dari kita adalah Allah biarkan kita sibuk mengurusi hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kita. Kita tidak diberi taufiq dan hidayah untuk melakukan kebaikan.

    Terdapat suatu kisah inspiratif, suatu hari Imam Malik ditanya, “Berapa umurmu wahai Imam?”. Imam Malik pun menjawab dengan tegas, “uruslah dirimu sendiri!”. Lihat bagaimanakah kesungguhan Imam Malik dalam menjaga waktu. Beliau tidak mau menjawab pertanyaan yang tidak ada manfaat akhiratnya, tidak mengandung ilmu.

    Dan kisah ini juga mengajarkan pada kita untuk tidak over kepo terhadap kehidupan orang lain. Masih banyak aib kita yang perlu diperbaiki, masih banyak kitab yang belum kita pelajari. Bagi seorang muslim, waktu itu sangatlah mahal, sehingga muslim yang baik keislamannya akan menginggalkan kegiatan di sosmed yang hanya sekedar like dan dislike, tanpa menebar faedah dan kebaikan. Maka mari kita bagi waktu kita dengan bijak, agar hisab Allah pada waktu kita lebih ringan.

    Kedua: Menanamkan kuat-kuat dibenak kita bahwa setiap postingan, komen, copas, dan share kita di sosmed akan dihisab, semuanya dan tak ada yang terluput olehNya! Karena Allah mempunyai malaikat yang ditugaskan untuk selalu mencatat setiap perbuatan kita. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Qaf : 18

    مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّالَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

    Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.

    Kontrol jari kita agar tidak terlalu mudah memposting, berkomentar, copy-paste, dan menshare, dan diam adalah salah satu cara terampuh untuk mengontrolnya.  Karena jari di dunia sosmed bagaikan lisan di dunia nyata.

    Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

    الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

    Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari).

    Wahai saudaraku, ingat! Ini zaman ynag penuh fitnah, semakin banyak komen, maka semakin lama hisab kita di akhirat kelak. Dan semakin banyak aktif tanpa manfaat, maka akan semakin banyak pertanyaan Allah pada kita. Karena, di sosmed tidak ada yang gratisan, walau online pake WiFi atau bonus paket internet. Semakin banyak teman yang kita yang menerima berbagai bentuk tulisan kita di sosmed, dan tulisan tersebut adalah tulisan yang salah, maka kelak semua teman kita akan menyalahkan kita ketika di akhirat.

    Ketiga: Ketika kita akan masuk dunia sosmed, maka jangan lupa pasang niat. Niatkan semua karena Allah, niatkan untuk menjalin tali silaturahmi, niatkan untuk berbagi faedah yang disampaikan oleh para ustadz.

    Kaidah fikih mengatakan,

    الوَسِيْلَةُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ

    “Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya.”

    Jika tujuan menggunakan sosmed adalah untuk menebar faidah dan berdakwah, maka penggunaan sosmed yang semacam ini akan berpahala.

    Akan tetapi jika penggunaan sosmed hanya untuk ikut-ikutan, rame-ramean tanpa ada unsur taqarrub (mendekatkan diri pada Allah), tanpa ada amall sholeh, maka celakalah kita, karena semua itu kelak akan memperpanjang waktu hisab kita.

    Ingat, akibat sosmed itu fatal!  Ia dapat tersebar keseluruh pelosok dunia. Wahai saudaraku, jika kita bukan merupakan da’i yang pandai berbicara didepan umat, maka jadilah mad’u (obyek dakwah) yang bersemangat membagikan faidah-faidah dari para ustadz melalui sosmed.

    Mari kita gunakan segala kemampuan yang kita miliki untuk berbuat kebaikan semaksimal mungkin, karena Allah memudahkan hambaNya beramal sebagaimana Allah mengaruniakan rizki pada hambaNya, dengan cara yang berbeda-beda.

    Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk selalu mengoreksi niat kita, karena Allah atau tidak. Karena setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya. Jika niat kita ikhlas, maka sosmed akan menjadi lumbung pahala buat kita, namun jika niat kita salah, maka bersiaplah dengan hisabNya.

    Keempat: Ingat kaidah para ulama fiqh dalam berbicara! Hak berbicara itu ada ketika kita telah memenuhi 3 syarat yang ulama sampaikan, yaitu :

    Syarat pertama: Niat harus karena Allah, sebagaimana hadits yang telah masyhur di tengah-tengah kita, bahwa innamal ‘amalu bin niyati…. (semua amal tergantung pada niatnya).

    Syarat kedua: Menyampaikan informasi dengan benar, baik dari sisi kandungan isinya, maupun dari cara penyampaiannya. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Al-Israa’ : 53

    وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ الَّتِى هِىَ أَحْسَنُ  ۚ  إِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ  ۚ  إِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْإِنسٰنِ عَدُوًّا مُّبِينًا

    Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang paling baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.

    Karena di sosmed kita tidak dapat memberikan intonasi bicara, ekspresi kita pun terbatas. Tidak setiap ekspresi tergambarkan oleh emoticon dalam sosmed, sehingga hal ini sangat rawan terjadi perselisihan dan salah paham.

    Ketika kita akan membicarakan hal yang sensitif, lebih baik gunakan komunikasi langsung, dan seandainya terpaksa menggunakan sosmed, maka sampaikan dengan adab yang benar dan perkataan terbaik.

    Diantaranya memulai dengan basmalah, shalawat pada Rasul, lalu salam, karena orang yang melakukan ini berarti ia mempunyai niatan baik ketika ingin mengajak kita berbicara. Sehingga kita pun harus pasang hati untuk selalu berhusnudzon atas setiap berita yang akan disampaikan.

    Oleh karena itu, selayaknya seseorang mempelajari ilmu berkomunikasi ala Nabi sebelum ia menggunakan sosmed. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Ali Imran : 159

    فَبِمَا    رَحْمَةٍ    مِّنَ    اللَّهِ    لِنتَ    لَهُمْ    ۖ    وَلَوْ    كُنتَ    فَظًّا    غَلِيظَ    الْقَلْبِ    لَانفَضُّوا۟    مِنْ    حَوْلِكَ    ۖ    فَاعْفُ    عَنْهُمْ    وَاسْتَغْفِرْ    لَهُمْ    وَشَاوِرْهُمْ    فِى    الْأَمْرِ    ۖ    فَإِذَا    عَزَمْتَ    فَتَوَكَّلْ    عَلَى    اللَّهِ    ۚ    إِنَّ    اللَّهَ    يُحِبُّ    الْمُتَوَكِّلِينَ

    Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

    Maka jangan sampai dakwah ini tercemar gara-gara sikap keras dan kasar dari kita. Selain itu, juga harus benar dari segi kandungannya, yakni dengan mengcrosscheck setiap informasi yang didapat, jangan asal kopas dan share.

    Karena setiap orang yang membaca berita akan mempunyai beberapa pendapat, dan pendapat ini lah yang akan mendatangkan perpecahan ketika suatu berita disebarkan dengan ada tambah-tambahan yang keliru karena bersal dari  pendapat penulis semata.

    Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Al Hujurat : 6

    يٰٓأَيُّهَا    الَّذِينَ    ءَامَنُوٓا۟    إِن    جَآءَكُمْ    فَاسِقٌۢ    بِنَبَإٍ    فَتَبَيَّنُوٓا۟    أَن    تُصِيبُوا۟    قَوْمًۢا    بِجَهٰلَةٍ    فَتُصْبِحُوا۟    عَلَىٰ    مَا    فَعَلْتُمْ    نٰدِمِينَ

    Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. “

    Syaikh Sholeh Al-Ruhaili mengatakan, terdapat 2 makna “fasik” dalam ayat diatas, yaitu :

    1. sumber berita/orang yang menyebarkan beritanya yang fasik, dan
    2. beritanya yang disampaikan merupakan berita kefasikan, dimana berita kefasikan ini bisa dibawa oleh orang soleh sekalipun, karena orang sholeh pun manusia, tempat salah dan lupa.

    Bisa saja seseorang itu terlupa akan nama tokoh dalam berita tersebut, sehingga ia salah dalam menyebutkan namanya. Bisa pula orang yang menyampaikan berita pada kita benar-benar orang yang terpercaya dari segi kekuatan ingatan dan kesholehan, namun bukankah masih mungkin terjadi kefasikan dari penyampai berita sebelumnya?

    Tidak semua orang sholeh itu selektif dalam menerima berita, maka tidak ada alasan untuk tidak crosscheck berita! Namun ketika kita tidak bisa melakukannya, maka berita tersebut jangan dipercaya, jangan disebar, cukup dijadikan pengetahuan angin lalu. Karena sekali lagi, klarifikasi di dunia sosmed itu berat! Belum tentu orang yang telah membaca berita fasik tersebut membaca pula hasil klarifikasinya.

    Syarat ketiga: Efek yang ditimbulkan dari disampaikannya berita tersebut adalah efek yang positif, atau bisa menekan kemudhorotan saat itu. Ingat! Walaupun berita tersebut benar, ketika disampaikan pada kondisi yang salah maka akan memperburuk keadaan. Kaidah fikih mengatakan “Apabila suatu kerusakan berhadapan dengan suatu kemaslahatan, maka secara umum, menolak kerusakan itu lebih didahulukan (kecuali jika kerusakan itu tidak dominan). Karena sesungguhnya perhatian pembuat syari’at terhadap perkara yang dilarang itu lebih keras daripada terhadap perkara yang diperintahkan. (Al-Asybaah wan Nazhaa`ir).

    Kelima: Mampu membedakan ranah publik dan ranah pribadi.

    Keenam: Ingat! Tidak semua yang kita dengar kita sampaikan. Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha :

    كَفَى بِالْمَرْء كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

    Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang ia dengar.” [HR. Muslim].

    Ketujuh: Hindari ghibah dan fitnah di sosmed. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda mengenai definisi ghibah dan dusta/bustan/fitnah. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menjelaskan bahwa ghibah adalah menceritakan keburukan saudaramu, meskipun keburukan/aib itu memang benar adanya. Sedangkan dusta/bustan/fitnah adalah menceritakan keburukan/aib yang tidak ada pada saudaramu. Maka perhatikan lisan kita wahai saudaraku, karena bahaya ghibah ini luar biasa.

    Kelak di akhirat Allah Ta’ala akan menyediakan bangkai saudara kita yang kita ghibahi, sebanyak apa kita mengghibahi seseorang maka sebanyak itulah bangkai yang Allah sajikan pada kita untuk kita makan sampai habis. Bukan menjadi masalah ketika yang disajikan banyak itu adalah makanan kesukaan kita, namun ini bangkai wahai saudaraku.

    Bangkai yang telah berbau busuk dan berbelatung, dan kita harus menghabiskannya, dan mungkin bisa lebih dari satu. Na’udzubillahi mindzalik. Saudaraku, bukankah masih banyak kitab yang belum kita baca? Bukankah masih banyak hukum Islam yang belum kita ketahui? Bukankah sholat kita masih sering tidak khusyu’?

    Lalu mengapa kita berani membuang waktu kita hanya untuk mencar-cari keselahan dan aib saudara kita? Ingat! Kita pun juga punya aib, dan seandainya tidak karena hidayah Allah pada kita, niscaya kita pun juga akan memiliki aib yang kita benci dari saudara kita tersebut. Allahu waliyyut taufiq.

    Maka mari jadikan sosmed kita sebagai lumbung pahala, jadikan sosmed kita sarana untuk mempermudah kita meraih surgaNya. Yassarallahu lanaa, baarakallahu ‘alaynaa.

    Washallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wattabi’in.

    ————————————————–

    Referensi :

    1. Aktualisasi Akhlaq Muslim, Ummu dan Abu Ihsan Al-Atsari
    2. Mandzumah Qawa’idh Fiqhiyyah, Abdurrahman bin Naashir bin Abdullah As-Sa’di
    3. Rekaman Kajian Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullahu ta’ala

    ***

    Penulis : Dian Pratiwi

    Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits

    Artikel http://www.muslimah.or.id

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal