MENGAPA KAMI LEBIH MEMILIH MENIMBA ILMU DARI SYAIKH MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI DARIPADA YANG LAINNYA?

Mungkin ada yang berkata : Kalian hanya terpaku pada Syaikh Al-Albany semata, kalian tidak menimba ilmu dari ulama lainnya dan tidak mempercayai yang lainnya. Padahal masih banyak ulama lain. Bukankah itu menunjukkan sikap fanatic kalian terhadapnya?

Jawaban terhadap perkataan ini: Banyak sekali alasan mengapa kami lebih memilih menimba ilmu dari Syaikh Al-Albany dan mendalami ilmu agama dari beliau.

Alasan yang paling kuat adalah: Kami yakin seorang muslim muqallid muttabi’ harus mengambil ajaran agama dari seorang alim mujtahid. Ia tidak boleh taklid kepada muqalllid seperti dirinya. Al-Buuthi mengakui sendiri hal ini dalam kitabnya berjudul Laa Madzabiyah halama 56, seperti yang ia nukil dari perkataan Ibnul Qayyim al-Jauziyah: “seorang muqallid tidak boleh berfatwa dalam agama Allah yang ia hanya bisa taklid dalam masalah tersebut dan ia tidak memiliki ilmu tentangnya kecuali perkataan orang yang diikutinya. Ini merupakan ijma seluruh kaum salaf. Sebagaimana yang sering ditegaskan oleh Imam Ahmad dan Asy-Syafi’I”.

Dan al-Buuthi menyetujui hal ini.

Ia juga menukil perkataan Ibnul Qayyim al-Jauziyah dan ia menyetujuinya: “Jika seorang mendalami ilmu fiqh dan menelaah beberapa kitab fiqih, namun masih kurang dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah serta atsar salaf, masih kurang dalam beristimbath dan dalam memilih pendapat yang kuat, apakah boleh taklid kepadanya dalam hal fatwa? Dalam masalah ini ada empat pendapat. Pendapat yang benar adalah, masalah ini ada perinciannya jika si penanya atau yang meminta fatwa sanggup memperoleh fatwa seorang ulama yang dapat membimbingnya, maka tidak boleh baginya meminta fatwa kepada orang yang seperti itu keadaannya. Dan orang seperti itu tidak boleh disebut sebagai ahli fatwa selama alim ulama tersebut masih ada”.

Jika kita terapkan perkataan tersebut sekarang ini, kita lihat orang-orang yang mengaku ulama dari kalangan orang-orang yang menisbatkan diri kepada salah satu mahdzab yang empat, namun sebenarnya mereka adalah muqallid dan jahil – berdasarkan pengakuan al-Buuthi sendiri- ia menyebutkan dl kitab tersebut halaman 42 bahwa seluruh ulama mahdzab sekarang ini adalah muqallid, mereka bukanlah ulama dalam pengertian sebenarnya. Jika demikian keadaan mereka, bolehkah seorang muslim yang jahil bertaqlid kepada salah seorang dari mereka padahal masih ada alim mujtahid selain mereka? Jawabannya tentu saja tidak- berdasarkan perkataan al-Buuthi sendiri-.

Salafiyyun tentu sudah tahu hal itu, mereka tidak membolehkan diri mereka taklid kepada salah seorang ulama mahdzab tersebut, karena pada hakikatnya mereka itu para muqallid. Maka salafiyun mencari ulama-ulama yang tidak menisbatkan diri kepada salah satu mahdzab. Mereka menemukan seorang alim yang benar-benar hakiki, seorang alim mujtahid, dia adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Mereka pun mendekati beliau dan menelaah buku-buku beliau. Mereka mendapati beliau adalah orang yang terpercaya dalam ilmu dan agamanya. Beliau menyampaikan kepada mereka hokum-hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan hokum mahdzab ini dan itu. Beliau juga menyebutkan kepada mereka dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah atas setiap hokum. Beliau tidak mengatakan kepada mereka, “Dalam masalah ini ada dua pendapat atau lebih!” yang akan membuat mereka bingung.

Kami nyatakan sejelas-jelasnya, kami lebih memilih Syaikh Al-Albany ketimbang ulama lainnya karena alasan ini. Yakni karena kami memandang beliau seorang alim yang sebenarnya, seorang imam mujtahid. Namun juga kami tidak melarang mengikuti mujtahid yang lain. Kami juga menimba ilmu dari mereka dan mengikuti mereka. Kami menambah ilmu pengetahuan dari mereka. Akan tetapi kami tidak mengkhususkan salah seorang dari mereka untuk diikuti, karena nantinya akan menyerupai ittiba’ kepada al-Ma’shum Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Kalaupun sekarang kami hanya mengikuti syaikh Nashiruddin al-Albani, maka hal itu disebabkan kami tidak menemukan mujtahid lain di negeri kami. Oleh karena itu pula kami mengajak kaum muslimin agar sama-sama berusaha menyiapkan kondisi yang kondusif untuk melahirkan para alim mujtahid yang akan mengembalikan kemurnian agama ini, memberi mereka fatwa dengan hokum Allah dalam persoalan-persoalan dahulu dan sekarang dan mengangkat derajat mereka.

Dengan begitu diharapkan kejayaan dan kemuliaan mereka akan kembali dan mudah-mudahan hal itu segera terwujud.

Itulah alasan utama kami memilih Syaikh Al-Albany daripada yang lain, sebenarnya masih banyak alasan-alasan lainnya.

Diantaranya: Kami memandang beliau seorang alim yang bijaksana dan luas ilmunya. Beliau mengambil dari seluruh mahdzab dan meimba pelajaran dari ulama-ulama terdahulu. Beliau tidak fanatic kepada salah satu mahdzab.

Diantaranya lagi: Syaikh Al-Albany mengikuti metodologi ilmiah yang jelas, manhaj yang shahih, yaitu menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai hakim dl setiap masalah. Beliau menjadikan keduanya sebagai asas dan pedoman dasar. Sementara perkataan para ulama hanyalah cabang. Beliau memilih pendapatnya berdasarkan dalil yang paling kuat dan membuang dalil-dalil yang lemah.

Salah satu alasannya: Kami melihat beliau memiliki ilmu yang luas, pandangan yang tajam, dan pemikiran yang istiqamah, yang tidak kami dapati pada selain beliau. Disamping spesialisasi beliau dalam ilmu hadits hingga mencapai derajat yang tinggi.

Jarang sekali orang yang menguasai ilmu ini padahal sangat dibutuhkan agar pemahaman bisa menjadi lebih tepat dan ijtihad bisa menjadi lebih benar.

MENGAPA KAMI MENGIKUTI SYAIKH NASHIRUDDIN AL-ALBANI DAN TIDAK MENGIKUTI IMAM-IMAM TERDAHULU

Mungkin ada yang berkata : Kami akui syaikh Nashiruddin adalah seorang alim muhaddits, namun yang jelas ilmu dan kedudukan beliau masih di bawah para imam mujtahid. Oleh sebab itu kalian tidak boleh meninggalkan ijtihad para imam mujtahid dan mengambil ijtihad beliau! Dan beliau juga tidak membantah dan menyalahkan imam mujtahid terdahulu!

Jawabnya: Memang benar ilmu dan kedudukan beliau masih di bawah para imam mujtahid terdahulu. Beliau sendiri tidak mengaku seperti itu, dan kami juga tidak menganggap beliau lebih alim dan lebih tinggi derajatnya daripada mereka. Akan tetapi tidak benar bila seseorang tidak dibolehkan mengoreksi orang yang lebih tinggi kedudukannya daripadanyanya atau menyelisihinya dalam beberapa permasalahan. Barangsiapa mengatakan demikian hendaklah ia mendatangkan dalilnya!

Seorang penuntut ilmu pemula kadang dapat menemukan kesalahan dan kekeliruan ulama besar, karena tidak ada seorang pun yang terlepas dari kesalahan dan kekeliruan. Dan kita tidak boleh diam dari menjelaskan kebenaran. Kadangkala ada anak kecil yang menegur kesalahanmu, sementara engkau adalah orang dewasa. Dari dulu sampai sekarang para penuntut ilmu dan para peneliti terus memberikan koreksi atas kitab-kitab ulama terdahulu. Bukanlah masalah bila ilmu dan pemahaman mereka jauh di bawah para ulama tersebut.

Sungguh tepat pernyataan ustadz ath-Thantawi ketika memberi pengantar koreksiannya atas kitab Shaidul Khathir (1/7): “Aku mengoreksi kitab ini dengan menjelaskan kebenaran yang kuketahui.. meski sebenarnya aku tidak pantas menjadi murid dari murid beliau, betapa jauh kedudukanku bila dibandingkan dengan Ibnul Jauzi? Akan tetapi merupakan kewajiban apabila seorang anak mengetahui kebenaran dalam sebuah masalah ia berhak mengkoreksi seorang Syaikhul Islam sekalipun”.

Ilmu bukan monopoli bagi pihak-pihak tertentu saja, ilmu tidak terhalang bagi siapapun. Barangsiapa bersungguh-sungguh ia pasti mendapatkannya. Siapa yang istiqamah menempuh jalur ia pasti sampai.

Kemudian juga kondisi umum munculnya fiqih dan para ahli fiqih, tidak memungkinkan bagi para imam untuk mengetahui kebenaran dalam setiap permasalahan. Karena mayoritas mereka muncul antara tahun 80 hijrah. Sementara hadits-hadits nabawi baru bisa dikumpulkan setelah itu. Meski sebagian dari para imam tersebut ada yang turut menyalin hadits-hadits nabawi –bukan seluruhnya seperti yang diklaim oleh al-Buuthi di halaman 58 dalam bukunya- misalnya Abu Hanifah tidak turut serta dalam penyalinan hadits. Pada saat itu penyalinan hadits masih sangat terbatas dan kurang. Lalu datanglah para ulama hadits seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, ad-Daraquthni, al-Baihaqy, ath-Thabrani dan al-Bazzar. Para ulama hadits tersebut datang setelah mereka. Menyusul kemudian para ulama pensyarah hadits dan penulis kitab-kitab dalam berbagai disiplin ilmu, seperti syarah gharib hadits (syarah kata-kata asing dalam hadits), menjelaskah hadits shahih dan dhaif, nasikh dan mansukh, memecahkan beberapa permasalahan hadits dan lain sebagainya.

Semua itu selesai dirampungkan setelah zaman keempat imam mahdzab tersebut. Oleh karena itu sangat wajar beliau orang-orang yang datang kemudian mengoreksi para imam dan alim ulama terdahulu.

Oleh karena itu merupakan kesalahan fatal menganggap hukum-hukum yang telah diputuskan oleh para imam terdahulu tidak boleh diganggu gugat lagi dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Sama halnya merupakan kejahilan yang keji melarang orang-orang yang datang kemudian mengoreksi pendapat-pendapat imam terdahulu. Karena ilmu laksana samudera yang luas tak bertepi. Bahkan ilmu akan menuju kesempurnaannya hari demi hari melalui usaha dan kerja keras para ulama, yang mana orang-orang yang datang kemudian menyempurnakan dan membenahi apa yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Jika kita membatasi diri hanya mengambil dari ulama-ulama terdahulu saja tanpa melihat perkembangan terbaru, niscaya ilmu akan mati dan terkubur.

Itulah salah satu alasan kami memilih mengikuti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany daripada ulama, mujtahid dan imam lainnya. Beliau sendiri telah mengambil pelajaran dari karya ulama-ulama tersebut. Beliau berhasil mengambil intisarinya sehingga pendapat beliau bisa menjadi lebih tepat dan lebih benar. Meski seluruh keutamaan itu terpulang kepada ulama-ulama terdahulu yang telah menghidangkan kepada beliau intisari dari dalil-dalil dan penelitian-penelitian mereka. Semuanya telah disiapkan dan dimudahkan, semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan. Perkataan kami ini benar dan terarah, sejumlah ulama juga mengatakan seperti ini. Mereka lebih mengedepankan ilmu asy-Syafi’i dan mahdzab beliau karena beliau telah menelaah mahdzab Malik dan Abu Hanifah. Dan beliau telah mengambil pelajaran dari kedua imam tersebut dan mengambil intisarinya. Maka mahdzab beliau adalah yang terbaru dan terbaik. Bukan berarti ijtihad atau tahqiq Syaikh Al-Albany adalah kata putus yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena kema’shuman hanyalah milik Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Semua orang bisa diterima dan bisa ditolak perkataannya kecuali al-Ma’shum Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

KAMI BUKAN MUTTA’ASHIB (FANATIK)

Namun demikian, kami bukanlah orang-orang yang fanatik. Karena fanatisme pada hakikatnya kecondongan dan hawa nafsu. Secara bahasa diambil dari kata ‘ashabah yang berarti meletakkan ‘ishaabah (pembalut) pada mata sehingga tidak bisa melihat. Maksudnya, menolak menggunakan penglihatan untuk melihat dalil orang lain meskipun benar dan berpegangteguh dengan pendapatnya sendiri meskipun salah. Oleh karena itu ta’ashub merupakan kesesatan yang nyata.

Manhaj kami bukanlah menerima pendapat Syaikh Al-Albany tanpa dalil dan hujjah. Akan tetapi mengambilnya sementara kami tahu pendapat itu lemah atau keliru. Atau berpaling dari pendapat ulama lain sementara kami tahu pendapat itu benar. Demi Allah sekali-kali tidak begitu. Namun kami ini adalah pencari kebenaran dan hikmah, dimana pun kebenaran itu berada kami pasti mengambilnya.

Namun bukan berarti kita semua satu tingkatan, atau kita semua mujtahid, sesungguhnya salafiyyun terdiri atas tiga kelompok dan tingkatan manusia, ada yang mujtahid, ada penuntut ilmu yang mengambil pendapat setelah memahami dalilnya; dan ada pula yang jahil muqallid yang mengambil pendapat tanpa memahami dalilnya. Kami tidak boleh membebankan seseorang melainkan menurut kadar kemampuannya. Oleh sebab itu menurut manhaj kami tidak mungkin kita semua menjadi mujtahid. Karena hal itu bertentangan dengan fitrah dan kemampuan manusia. Sebagaimana kami akui juga, diantara kami ada yang muqallid dan jahil, tidak mampu apa-apa kecuali taqlid. Kami tidaklah mengingkari mereka. Kami memerintahkan mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh setiap ulama, “Ikutilah ulama yang kalian percayai ilmu dan agamanya”. Dan mereka telah mempercayai Syaikh Al-Albany dan mereka mengikuti beliau. Bukan karena sosok pribadi beliau namun karena beliau merupakan orang yang dipercaya dapat menyampaikan hukum Allah dan Rasul-Nya kepada mereka. Dan umumnya mereka mengikuti beliau dalam penukilan nash-nash yang shahih kepada mereka. Jarang sekali mereka mengikuti ijtihad-ijtihad beliau secara khusus.

Selesai disalin tanggal 09/12/2007. dari buku “Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kenangan” oleh Umar Abu Bakar (penterjemah : Abu Ihsan al-Atsari). Terbitan Pustaka At-Tibyan. Solo.

Sumber : tammamulminnah.wordpress.com